Salah satu isu yang hangat dibicarakan oleh masyarakat dunia ini adalah soal lingkungan.Betapa tidak, perubahan iklim akibat efek rumah kaca berimplikasi pada naiknya permukaan air laut, secara masif sangat mempengaruhi kehidupan sosial di kawasan kepantaian termasuk di kawawan pegunungan atau pun hutan.Hal tersebut dapat menyebabkan makin menekan terjadinya pelbagai perubahan ragawi lingkungan. Perubahan iklim di bumi ini sangat berimplikasi pada perubahan sosial dan kebudayaan masyarakat.Bencana alam yang bertubi-tubi mendera, banir, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menimbulkan kehancuran lingkungan diinterprestasikan sebagai akibat ulah manusia.Manusia berpotensi untuk memelihara dan jugamenimbulkan kerusakan sumber daya alam dan lingkungannya.
Penelitian Mikulik dan Babina (2009) menyatakan bahwa Perguruan Tinggi (PT) harus memiliki kepedulian lingkungan agar pembangunan mencapai keberlanjutan, sehingga upaya perlindungan perlu diformulasikan. Untuk itu, sebagai bagaian dari bangsa Indonesia, Universitas Negeri Semarang (UNNES) telah meneguhkan diri sebagai Universitas Berwawasan Konservasi pada 2010.Universitas berwawasan konservasi merupakan salah satu visi UNNES. Berwawasan konservasi bermakna cara pandang dan perilaku yang berorientasi kepada prinsip konservasi, yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan yang di dalamnya mencakupi pelestarian dan pemanfaatan secara lestari SDA dan nilai-nilai sosial budaya.
Pengembangan UNNES sebagai universitas berwawasan konservasi mengandung beberapa tujuan: (1) mendukung upaya pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan SDA hayati dan nonhayati dan eksosistem; (2) melindungi, mengawetkan, serta memanfaatkan SDA secara lestari melalui kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian bagi terciptanya keseimbangan ekosistem yang ada di dalamnya; serta (3) menumbuhkan sikap mental, perilaku, yang bertanggung jawab dan peran serta sivitas akademika UNNES dalam upaya konservasi keanekaragaman hayati, pelestarian lingkungan, seni, budaya, dan olah raga.
Dalam penyelenggaraan pendidikan yang berwawasan konservasi,UNNES mengembangkan nilai-nilai aspiratif, humanis, peduli, inovatif, kreatif, sportif, jujur dan adil. Nilai tersebut menjadi karakter lulusan UNNES. Setiap program studi mengembangkan kurikulum yang berbasis KKNI dan berwawasan konservasi. Pelaksanaan tridharma UNNES diarahkan dapat diaplikasikannya nilai konservasi pada proses pendidikan, karya penelitian dan pengabdian sivitas akademika UNNES. Hal ini memperlihatkan bahwa tujuh pilar konservasi dikristalisasi menjadi tiga pilar, yaitu (1) SDA dan lingkungan, (2) nilai dan karakter, serta (3) seni dan budaya (RIP UNNES 2016).
Wawasan konservasi dipahami sebagai suatu model yang harus diikuti dan ditiru, berupa keyakinan yang melandasi sudut pandang atau cara melihat dan memperlakukan persoalan yang menjadi fokus perhatian, yaitu konservasi. Wawasan konservasi menjadi rujukan yang disepakati bersama dan digunakan oleh sivitas akademika UNNES sebagai sebuah komunitas akademik. Wawasan konservasi menduduki posisi yang utama untuk menegaskan arah dan memandu sikap dan perilaku dalam mengerjakan atau mengutamakan sesuatu yang layak dipilih dengan sikap dan komitmen untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan membangun manusia serta kemanusiaannya (RIP UNNES 2016).
Menurut Capra (2013), masa depan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia, sangat tergantung pada kualitas ekoliterasi. Ekoliterasi atau melek lingkungan merupakan kemampuan atau kesadaran tinggi masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup dengan segala isinya yang memang harus dirawat, dijaga, dan dimanfaatkan secara bijak.
Untuk itulah gagasan bagaimana agar seseorang dapat mengerti, memahami, serta memiliki kesadaran tentang lingkungan perlu diinisiasi dengan membnagun “Rumah Ekoliterasi Konservasi”.Rumah ekoliterasi ini memiliki fokus kegiatan pada bagaimana agar seseorang mengetahui, mengerti, memamahami, serta melaksanakan konsep-konsep, makna serta nilai-nilai konservasi.
Ekoliterasi
Literasi atau keberaksaraan atau melek aksara merupakan kemampuan sesorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung, dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga, dan masyarakat.Hal ini sesuai pendapat Baynham (1995) bahwa literasi adalah bentuk integrasi dari kemampuan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis.Dahulu pengertian literasi itu sekadar kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary 2005:898).
Pada masa itu, membaca dan menulis dianggap cukup sebagai pendidikan dasar bagi manusia untuk menghadapi tantangan zaman.Pada saat ini, literasi tidak hanya diartikan sebagai kemampuan menulis dan membaca saja, tetapi literasi memiliki makna dan implikasi dari keterampilan membaca dan menulis dasar ke pemerolehan dan manipulasi pengetahuan melalui teks tertulis, dari analisis metalinguistik unit gramatikal ke struktur teks lisan dan tertulis (Goody & Watt 1963; Chafe & Danielewicz 1987; Olson 1991; Ong 1992).
Perkembangan zaman yang pesat jugalah yang membukakan tirai penutup literasi. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya.Untuk itu, literasi melibatkan serangkaian pembelajaran yang memungkinkan individu untuk mencapai pengetahuan, mengembangkan pengetahuan dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat terbatas dan masyarakat luas (UNESCO 2005).
Kemudian, dewasa ini kata literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika dan sebagainya.Hal tersebut merupakan transformasi makna literasi karena perkembangan zaman.Oleh karena itu, literasi bukanlah sekadar kemampuan membaca dan menulis secara mekanis.Literasi meliputi tanggapan, pemahaman, dan kegiatan kehidupan yang tersusun dan diaplikasikan melalui kegiatan pembelajaran berkelanjutan (Rokhman 2017).
Sementara itu, Capra (2013) menyatakan istilah ekoliterasi atau melek ekologi.Menurutnya, ekoliterasi adalah kemampuan manusia yang sudah mencapai tingkat kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup.Hal ini berimplikasi bahwa seseorang sudah sangat menyadari betapa pentingnya lingkungan hidup, betapa pentingnya menjaga dan merawat bumi, ekosistem, alam sebagai tempat itnggal dan berkembangnya kehidupan.Secara khusus, Capra 2013) menyatakan bahwa ekoliterasi merupakan keadaan seseorang yang telah memahami prinsip-prinsip ekologi dan hidup sesuai dengan prinsip-prinsip ekologi dalam menata dan membangun kehidupan bersama umat manusia di bumi dalam dan untuk mewujudkan masyarakat berkelanjutan. Lebih lanjut, Capra (2013) mendambakan dan meramalkan bahwa masa depan umat manusia, masa depan komunitas manusia, dan masa depan planet bumi ini sangat bergantung pada ekoliterasi. Oleh kerena itu, menurutnya, revitalisasi komunitas-komunitas sedemikian rupa, termasuk komunitas pendidikan, komunitas industri, komunitas politik diperlukan untuk mempertahankan, menjaga, merawat dan melindungi lingkungan hidup.
Ekolinguistik sebagai Payung
Sejak Einar Haugen menciptakan paradigma ekologi bahasa (1970) sebagai perspektif “baru” dalam mengkaji bahasa, kajian ekolinguistik berkembang pesat.Wawasan baru tentang kajian ekologi yang menjadikan inter-relasi antarbahasa di suatu lingkungan, khususnya kehidupan bahasa-bahasa dalam konteks pikiran dan perilaku verbal dalam suatu guyub tutur, telah membuka ruang kaji atas bahasa menjadi lebih kaya lagi.
Menurut Mbete (2009), dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya. Dalam the Ecology of Language Shift, Mackey (dalam Fill dan Muhlhausler 2001) menjelaskan bahwa pada dasarnya ekologi merupakan kajian saling ketergantungan dalam suatu sistem.Dalam ekologi bahasa, konsep ekologi memadukan lingkungan, konservasi, interaksi, dan sistem dalam bahasa.
Lingkungan bahasa dalam ekolinguistik meliputi lingkungan ragawi dan sosial Sapir (dalam Fill dan Muhlhausler 2001). Lingkungan ragawi menyangkut geografi yang terdiri atas fisik: topografi suatu negara (pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, dan intensitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri atas fauna, flora, dan sumber-sumber mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni.
Konservasi bahasa dalam lingkup ekolinguistik terinspirasi dari pemikiran Haugenian bahwa upaya penyelamatan bahasa amat diperlukan karena kepunahan bahasa begitu cepat dalam satu dasawarsa (Fill 2001).Kajian ekolinguistik memiliki parameter yaitu interrelationships (interelasi bahasa dan lingkungan), environment (lingkungan ragawi dan sosial budaya) and diversity (keberagaman bahasa dan lingkungan) Haugen (dalam Fill dan Muhlhausler 2001). Haugen (1970) menyatakan bahwa ekolinguistik memiliki kaitan dengan sepuluh ruang kaji, yaitu: (1) linguistik historis komparatif;(2) linguistik demografi; (3) sosiolinguistik; (4) dialinguistik; (5) dialektologi; (6) filologi; (7) linguistik preskriptif; (8) glotopolitik; (9) etnolinguistik, linguistik antropologi ataupun linguistik kultural (cultural linguistics); dan (10) tipologi bahasa-bahasa di suatu lingkungan. Berdasarkan pembagian Haugen tersebut, penelitian ini ada terkait dengan ruang kaji sosiolinguistik dan linguistik preskriptif (leksikografi).
Dalam lingkup kajian ekolinguistik, bahasa yang hidup dan digunakan menggambarkan, mewakili, melukiskan (merepresentasikan secara simbolik-verbal) realitas di lingkungan, baik lingkungan ragawi maupun lingkungan buatan manusia (lingkungan sosial-budaya).Hal tersebut mengimplikasikan bahasa mengalami perubahan seiring dengan perubahan lingkungan ragawi dan sosialnya, sebagaimana dinyatakan Liebert (2001) bahwa “… perubahan bahasa … merepresentaikan perubahan ekologi.” Proses perubahan pada bahasa tersebut berjalan secara bertahap dalam kurun waktu yang lama, tanpa disadari oleh penuturnya, dan tidak dapat dihindari.
Menurut Sapir dalam Fill dan Muhlhausler (2001), perubahan pada bahasa itu tampak jelas teramati pada tataran leksikon.Kelengkapan leksikon dari suatu bahasa mencerminkan sebagian besar karakter lingkungan ragawi dan karakteristik sosial serta budaya masyarakat penuturnya.Pada tataran leksikon, dinamika dan perubahan bahasa dipengaruhi oleh tiga dimensi (Lindø dan Bundegaard, 2000), yakni (a) dimensi ideologis, (b) dimensi sosiologis, (c) dimensi biologis.
Rumah Ilmu Berekoliterasi Konservasi
Pilihan visi universitas berwawasan konservasi tentunya bukan tanpa alasan. Ketika beberapa perguruan tinggi memilih dan menetapkan sebagai entrepreneur university, research university, teaching university, tecnopreneur university , yang sudah banyak dipilih dan diikuti oleh perguruan tinggi lain. UNNES memilih untuk tidak menjadi pengekor atau pengikut (follower) perguruan tinggi-perguruan tinggi yang sudah menetapkan seperti hal yang disebutkan. UNNES memelopori dan memilih universitas berwawasan konservasi.Tampaknya,pilihan universitas berwawasan konservasi (conservation—minded—university) merupakan universitas pertama di Indonesia dan menjadi pembuat trend baru atau pembuat standar baru (trendsetter) yang akan diikuti oleh perguruan tinggi lain.
Universitas berwawasan konservasi perlahan tetapi pasti membentuk citra dan reputasi bagi UNNES.Citra dan reputasi universitas berwawasan konservasi telah menjadi pesan yang sangat populer di masyarakat.Pada saat Dies Natalis, Presiden RI ke-6, SBY memyatakan “UNNES luar biasa, ini baru kosnervasi”.Hal ini berimplikasi, universitas berwawasan konservasi telah mendapat perhatian.Ruslan (2003) menyatakan bahaw citra berwujud sebagai penerimaan dan tanggapan, baik positif maupun negatif, yang khususnya datang dari publik (khalayak sasaran) dan masyarakat luas. Pada umumnya, citra yang baik akan menciptakan kepercayaan dan kesetiaan yang baik juga dari publik. Oleh karena itu, universitas berwawasan konservasi harus dapat mencerminkan citra yang baik agar memberikan reputasi kepada UNNES.
Sejak UNNES menasbihkan diri sebagi universitas berwawasan konservasi tentunya banyak kebijakan dan upaya yang dilakukan oleh UNNES untuk mensosialisasikan, memahamkan, serta menggerakkan seluruh warga kampus dan atau masyarakat dalam mewujudkan dan meneguhkan visi konservasi ini. Artinya, UNNES menjadi pelopor konservasi dan menggunakan kekuatan tersebut untuk mengantarkan masyarakat mewujudkan cita-citanya, yaitu masyarakat sejahtera yang sejajar dengan masyarakat global. Sebagai perguruan tinggi berwawasan konservasi, UNNES berkewajiban menunaikan mandat dan tanggung jawabnya dengan memegang teguh konservasi sebagai identitas. Hal itu berimplikasi bahwa konservasi menjadi identitas pada semua amanah mandat dan tanggung jawab yang diemban mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta penyelesaiannya.Upaya ini merupakan aktivitas untuk mencitrakan dan mereputasikan universitas berwawasan konservasi.
Universitas konservasi adalah universitas yang dalam pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat memiliki konsep yang mengacu pada prinsip-prinsip konservasi (perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari) baik konservasi terhadap sumberdaya alam, lingkungan, seni, dan budaya. Hal ini selaras dengan pendapat Richmond dan Bracker (2009) mengartikan konservasi sebagai suatu proses kompleks dan terus-menerus yang melibatkan penentuan mengenai apa yang dipandang sebagai warisan, bagaimana ia dijaga, bagaimana ia digunakan, oleh siapa, dan untuk siapa. Warisan yang disebut dalam definisi tersebut tidak hanya menyangkut hal fisik tetapi menyangkut juga kebudayaan.Dengan demikian, pengertian konservasi tidak sekadar menyangkut masalah perawatan, pelestarian, dan perlindungan alam, tetapi juga menyentuh persoalan pelestarian warisan kebudayaan dan peradaban umat manusia.
Secara formal, dengan pertimbangan bahwa sebagai universitas berwawasan konservasi, pengelolaannya dilandaskan pada spirit konservasi dan lambang spirit konservasi, maka diterbitkan Peraturan Rektor UNNES Nomor 6 Tahun 2017 tentang Spirit Konservasi UNNES.Menurut peraturan ini, spirit konservasi adalah semangat, jiwa atau roh yang melandasi dalam implementasi konservasi UNNES.Lambang konservasi adalah gambar yang menegaskan bahwa UNNES merupakan universitas yang berlandaskan spirit konservasi.Dalam peraturan itu, spirit konservasi UNNES yaitu arum luhuring pawiyatan ing astanira, yang bermakna rumah ilmu pengembang peradaban unggul (Rokhman 2014).
Spirit konservasi direpresentasikan dengan lambang konservasi yang ada di puncak tugu konservasi UNNES.Lambang tersebut hanya dapat digunakan untuk keperluan tugu konservasi dan replika tugu konservasi untuk pemberian penghargaan konservasi.Spirit konservasi ini ditopang oleh tiga pilar yaitu (1) nilai dan karakter, (2) seni dan budaya, serta (3) sumber daya alam dan lingkungan.Selain itu, spirit konservasi juga dijabarkan dalam delapan nilai yaitu (1) nilai inspiratif, senantiasa memiliki ide atau gagasan untuk siap bertindak melakukan kegiatan menuju keunggulan secara nasional dan internasional; (2) nilai humanis, senantiasa menghargai orang lain, mengharapkan dan memperjuangkan terwujudnya harkat dan martabat warga UNNES pada khususnya dan warga masyarakat pada umumnya; (3) nilai kepedulian, senantiasa mengindahkan, memperhatikan dan menghiraukan terhadap sesama warga UNNES, warga masyarakat, dan lingkungan alam sekitar; (4) nilai inovatif, senantiasa mendayagunakan pemikiran, imajinasi, stimulan dan lingkungan untuk menghasilkan produk-produk yang bersifat kebaruan; (5) nilai kreatif, senantiasa berpikir dan bertindak untuk menyelesaikan masalah-masalah secara cerdas berdasarkan norma-norma untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang dimiliki; (6) nilai sportif, senantiasa memperlihatkansikap kesatria, jujur, fair dan mau mengakui kekuatan, keberhasilan yang dimiliki orang lain, serta mengakui kesalahan dan kelemahan diri sendiri; (7) nilai kejujuran, senantiasa berperilaku berdasar pada upaya menjadikan warga UNNES sebagai pribadi yang dapat dipercaya dalam perkataan, sikap, tindakan dalam pekerjaan dan kehidupan keseharian berdasarkan norma-norma yang berlaku; serta (8) nilai keadilan, senantiasa tidak berpihak, berpihak pada yang benar dan tidak merugikan orang lain dan diri sendiri, memberikan kepada orang lain sesuai dengan haknya (Peraturan Rektor UNNES Nomor 6 Tahun 2017).
Rumah ekoliterasi konservasi bervisi mewujudkan masyarakat berpengetahuan dan berwawasan lingkungan. Lalu, visi yang ditanamkan adalah (1) mewujudkan ekoliterasi konservasi bagi masyarakat, (2) mewujudkan nilai-nilai kesadaran lingkungan sebagai salah satu nilai budaya bangsa, (3) mewujudkan pusat informasi ekologi yang membantu masyarakat dalam pengembangan pengetahuan ekologi dan konservasi, serta (4) mewujudkan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan akses pelatihan dan pembinaan seluas-luasnya. Untuk itulsh tujuan rumah ekolitersi konservasi ini yaitu (1) membentuk wadah atau pusat informasi mengenai ilmu pengetahuan lingkungan hidup melalui rumah ekoliterasi konservasi, (2) membangun pemahaman masyarakat mengenai istilah-istilah konservasi, (3) menumbuhkanbudaya ekoliterasi, serta (4) membudayakan gerakan ekoliterasi konservasi nasionalRumah Ekoliterasi Konservasi memiliki konsep saling berkaitan satu sama lain dan saling mendukung untuk mencapai visi dan misi. Program yang dapat dilakukan adalah sebaia berikut.
Eco-library.Menyediakan buku-buku yang menarik untuk dibaca dan diskusikan. Buku yang disediakan berkaitan dengan nilai dang karakter, seni dan budaya, Sumber Daya Alam dana lingkungan. Berbagi pengetahuan memlalui bahan bacaan kepada orang lain sangatlah mmbahagiakan.Berbagi bacaan adalah kekuatan besar bagi rumah ekoliterasi konservasi untuk menebar kemelekwacanaan civitas akademika Universitas Negeri Semarang dalam hal lingkungan dan konservasi. Koleksi buku bacaan yang dimiliki oleh rumah ekoliterasi konservasi, selain inventaris internal, juga berasal dari setiap individu/ komunitas/ institusi yang menyumbangkan buku-buku kepada rumah ekoliterasi konservasi, sehingga dapat dipinjam individu/ komunitas/ institusi lainnya. Buku yang dititipkan dan dipinjam akan didata dan dilakukan pemantauan oleh pengelola.
Eco-education, training& research.Kegiatan edukasi dilakukan kepada agar seseorang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai ekologi.Pelatihan bisa dilakukan secara rutin kepada anak usia dini/siswa/mahasiswa, guru/dosen, tenaga pendidik, ataupun masyarakat umum. Pelatihan ini bertujuan untuk membiasakan diri agar seseorang dapat menjaga lingkungan karena untuk mengubah sikap tidak bisa langsung begitu saja tetapi butuh proses. Selain itu, penelitian tentang ekoliterasi dapat dilakukan.
Eco-collaboration.Rumah ekoliterasi konservasi perlu untuk berkolaborasi dengan lembaga/instansi/csr sebagai jejaring mitra. Diharapkan semua mitra bisa membantu menjadikan bumi menjadi lebih baik untuk ditinggali.Kerjasama dilakukan dengan berbagai instansi baik negeri maupun swasta untuk mewujudkan rumah ekoliterasi konservasi yang unggul dalam pelaksaan program-program ekoliterasi yang memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat luas.
Eco-publication. Alangkah lebih baiknya ilmu yang sudah didapatkan tidak hanya disimpan untuk diri sendiri tapi juga disebarluaskan kepada masyarakat luas. Kegiatan ini bisa dilakukan melalui media sosial seperti web, youtube, facebook, instagram, twiter, vlog dan lain sebagainya. Atau bisa juga langsung terjun ke masyarakat dengan tujuan mengajak masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga lingkungan.
Masa depan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia, sangat tergantung pada kualitas ekoliterasi. Ekoliterasi atau melek lingkungan merupakan kemampuan atau kesadaran tinggi masyarakat tentang pentingnya lingkungan hidup dengan segala isinya yang memang harus dirawat, dijaga, dan dimanfaatkan secara bijak.Tingkat literasi ekoleksikon konservasi dapat menjadi indikator kesadaran ekologis masyarakat dalam menjaga dan merawat bumi secara berkelanjutan, tidak terkecuali masyarakat kampus UNNES yang bervisi universitas berwawasan kosnervasi dan bereputasi internasional.
– Tommi Yuniawan, dosen Bahasa Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang