Publik khususnya akademisi dihebohkan dengan teknologi ChatGPT program kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang lulus ujian kedokteran United States Medical Licensing Examination (USMLE) dan kecerdasan buatan lainnya, Claude, lulus ujian hukum dan ekonomi tingkat universitas (Business Insider, 19/1). Hal ini menjadi perhatian serius berbagai kalangan khususnya akademisi di perguruan tinggi tentang penggunaan kecerdasan buatan, nilai etis, aturan dan implikasinya terhadap proses pembelajaran dan pembentukan karakter mahasiswa.
Pada bulan November 2022, OpenAI meluncurkan ChatGPT yang merupakan salah satu pencapaian teknologi kecerdasan buatan terkini dan tersedia untuk umum secara gratis hingga saat ini. Kecerdasan buatan ini memiliki kemampuan untuk memproduksi gambar, audio, video, dan narasi. Tidak hanya itu, ChatGPT dapat membuat esai dan menjawab pertanyaan pilihan ganda bahkan menulis program komputer. Disrupsi yang dihasilkan dari teknologi ini tidak hanya berdampak kepada sektor pendidikan tetapi juga bisnis.
Hal ini menjadi refleksi penting khususnya bagi akademisi terkait dengan nilai etis dan peran universitas menyikapi konsekuensi logis dari teknologi kecerdasan buatan yang tidak dapat dihindari lajunya. Di Australia, khususnya di New South Wales dan Queensland, sekolah melarang penggunaan ChatGPT. Sedangkan beberapa universitas memperbolehkan penggunaan teknologi ini dengan aturan yang sangat ketat dan jelas.
Apa yang dapat dilakukan?
Menurut Prof. Matt Bower, Dekan Fakultas Pendidikan Macquarie University dengan kepakaran bidang Teknologi Pendidikan menyatakan bahwa diperlukan pendekatan penilaian yang berbeda dari pendekatan tradisional sehingga mahasiswa tidak dengan mudah menjawab pertanyaan dengan bantuan kecerdasan buatan. Ketika dosen ingin menguji kemampuan mahasiswa ditengah masifnya teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT, penggunaan keterampilan aras pikir tingkat tinggi seperti evaluasi kritis dan kreativitas menjadi hal yang lebih penting dibandingkan hanya menguji retensi pengetahuan. Dosen dapat memberikan pertanyaan yang bersifat kontekstual dan menerapkan personalisasi pembelajaran. Apabila memungkinkan, ujian atau penugasan dapat dilakukan dengan metode wawancara sehingga dosen dapat melihat dengan komprehensif kemampuan pikir yang dimiliki oleh mahasiswa. Hal lain terkait dengan penugasan, pembelajaran berbasis proyek dan masalah menjadi metode pembelajaran yang direkomendasikan untuk mengatasi efek negatif penggunaan ChatGPT.
Peran universitas menjadi sangat penting sebagai institusi yang menjunjung tinggi integritas akademik. Ditengah gempuran kecerdasan buatan seperti ChatGPT, universitas harus dapat menjawab persoalan etis, hak cipta dan lainnya yang menjadi implikasi dari penggunaan kecerdasan buatan yang tidak mungkin untuk dihindari. Beberapa universitas luar negeri seperti Montclair State University memiliki aturan yang sangat jelas dan eksplisit dalam kode etik akademik yaitu dengan mencantumkan pernyataan yang berbunyi ‘Penggunaan kecerdasan buatan saat penugasan dan ujian yang tidak diizinkan oleh pihak yang berwenang termasuk tindakan plagiarisme’. Hal serupa juga dilakukan oleh Cornell University dengan membuat aturan penggunaan kecerdasan buatan yang jelas. Kerangka ini menjadi fondasi yang kuat untuk melindungi integritas akademik bagi seluruh sivitas akademika.
Di Indonesia sendiri diskusi publik terkait dengan penggunaan kecerdasan buatan seperti ChatGPT menaruh perhatian serius dari kalangan akademisi. Sejauh ini belum ada aturan yang khusus mengatur penggunaan kecerdasan buatan dalam penugasan atau ujian. Aturan yang ada masih bersifat umum membahas kecurangan akademik seperti plagiarisme. Diperlukan aturan yang spesifik sebagai respon terhadap perubahan zaman yang dipengaruhi oleh teknologi yang bergerak secara eksponensial. Tanpa terkecuali UNNES yang akan terus melakukan penyesuaian dan inovasi untuk dapat membangun iklim akademik yang relevan dengan perubahan era.
Teknologi akan terus berkembang termasuk teknologi pendidikan yang mempunyai manfaat dan juga risiko yang menyertainya. Manfaat dari kecerdasan buatan untuk kecemerlangan pendidikan dan peradaban manusia hendaknya menjadi marwah bagi universitas dalam mencetak generasi unggul yang beradab dan berdaya saing global.
– Sandy Arief, Ph.D. – Sekretaris Senat Akademik UNNES