RAPAT Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) telah berlangsung Senin-Selasa (30-31/1) di Yogyakarta. Rakernas itu menunjukkan ikhtiar yang serius agar pendidikan tinggi berperan lebih dalam pembangunan bangsa. Agar peran itu dapat dipenuhi, ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi.
Rakernas Kemristekdikti tidak hanya dihadiri oleh unsur internal Kemristekdikti. Lembaga negara dan kementerian lain yang relevan juga hadir. Kondisi ini dapat dibaca sebagai pengakuan bahwa agenda memajukan bangsa tidak dapat dilakukan secara parsial. Harus ada sinergi terus- menerus, lintas lembaga dan lintas bidang.
Selama ini peran kebangsaan perguruan tinggi dirumuskan melalui konsep tri dharma perguruan tinggi. Pendidikan digunakan untuk meningkatkan kapasitas potensi insani (sumber daya manusia). Penelitian digunakan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baru, termasuk menjembatani ilmu pengetahuan agar berdaya guna. Adapun pengabdian kepada masyarakat merupakan muara agar ilmu pengetahuan berdampak bagi masyarakat, manusia, dan kemanusiaan.
Tiga skema itu masih relevan hingga kini karena dapat membentangkan aspek ontologis, epistemologi, dan ontologi ilmu. Namun dalam masyarakat yang bergerak dinamis, prinsip tri dharma perlu terus diaktualisasikan. Sebab, dalam masyarakat yang dinamis, segala hal dapat berubah dengan cepat. Tidak hanya produk-produk kebudayaan, pemikiran, dan bahkan nilai-nilai dasar juga terus berganti.
Tingginya dinamika masyarakat merupakan ekses dari sistem sosial terbuka yang berlaku pada masyakat dunia. Sistem demokrasi memungkinkan berbagai perbedaan muncul, terlebih didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat. Pendapat demi pendapat hadir pada ruang yang sama sehingga terkadang melahirkan benturan. Akibatnya, konflik sosial lebih sering terjadi dalam berbagai bentuk.
Dalam fisika, perubahan bentuk benda hampir selalu diikuti lepasnya energi. Energi berfungsi ganda, sebagai syarat bagi terjadinya perubahan sekaligus sebagai ekses. Sebagai ekses, pelepasan energi membawa akibat tambahan yang tidak dikehendaki. Energi itulah yang kerap kali menjelma menjadi konflik.
Sebangun dengan itu, masyarakat yang sedang berubah menuju bentuk baru yang ideal juga mengeluarkan energi lebihan. Energi berlebih menimbulkan konflik sosial. Pada batas tertentu, cara kerja ini merupakan kelaziman yang alamiah sehingga tidak perlu dikhawatirkan. Namun lebihan energi yang di luar kendali justru melahirkan dampak yang berlebihan, terkadang destruktif.
Situasi semacam itulah yang menuntut perguruan tinggi berperan menjadi penyelaras perubahan sosial. Sebagai penyelaras, perguruan tinggi dapat menjadi motor dinamika sosial sekaligus pengendali perubahan sosial. Perguruan tinggi dapat melahirkan energi yang memicu gerak (dinamika), tetapi pada situasi yang lain dapat meredamnya. Intinya, perguruan tinggi harus memastikan perubahan sosial bergerak sesuai nilai fundamental yang diharapkan.
Peran-peran seperti itu telah dimainkan oleh para ilmuwan di abad-abad terdahulu. Ilmuwan bidang eksakta menemukan teknologi produksi yang membuat masyarakat berkecukupan. Moda produksi lama digantikan dengan moda baru yang lebih efisien. Adapun ilmuwan sosial telah melahirkan aneka konsep sosial untuk mencegah ketimpangan. Melalui konsep-konsep itu para ilmuwan sosial berupaya mewujudkan keadilan, kebebasan, dan kerukunan demi kebaikan bersama.
Saat kebijakan diskriminatif Presiden Donald Trump dirasa akan menimbulkan akibat buruk, sejumlah perguruan tinggi di Amerika melakukan “perlawanan moral”. Salah satu perlawanan datang dari Rektor Columbia University, New York, Lee C. Bollinger. Ia menilai kebijakan itu telah melanggar prinsip dasar perguruan tinggi itu. Melalui kritiknya Bollinger berusaha memainkan peran sosialnya sebagai masyarakat akademik.
Cara serupa dilakukan Robert Reich, dosen kebijakan publik Universty of California, Berkeley, yang memandang kebijakan Trump merupakan awal kebangkitan tirani. Dengan penguasaan terhadap ilmu sosialnya ia membangun kesadaran baru kepada masyarakat bahwa tindakan Trump berakibat panjang.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pasal 3, disebutkan azas tertinggi pendidikan tinggi adalah kebenaran ilmiah. Maka, peran sosial dan kultural perguruan tinggi mestinya disandarkan pada nilai tersebut. Dalam praktik, kebenaran itu dapat selaras dengan kebenaran positif yang berlaku di masyarakat, tetapi bukan tidak mungkin justru bertolak belakang. Ketika selaras, perguruan tinggi bertugas memperkuatnya. Ketika bertolak belakang, perguruan tinggi bertugas mengoreksinya.
Peran demikian hanya mungkin dijalankan secara optimal jika masyarakat perguruan tinggi memiliki sumber daya pengetahuan yang memadai. Kebenaran ilmiah hanya dapat ditegakkan dengan semangat pencarian kebenaran yang terus-menerus. Dalam konteks inilah penelitian yang dilakukan oleh dosen menjadi elan vital. Penelitian yang dilakukan dosen adalah usaha melayakkan diri agar perguruan tinggi dapat memformalisakan kebenarannya.
Kemristekdikti melalui Permenristekdikti Nomor 20 tahun 2017 telah mengatur supaya dosen lebih produktif meneliti dan memublikasikan penelitian. Dosen berpangkat lektor kepala minimal harus memublikasikan 1 karya di jurnal internasional setiap 3 tahun. Adapun profesor minimal harus memublikasikan 3 penelitian di jurnal internasional setiap 3 tahun.
Dorongan dari Kemristekdikti itu pada dasarnya digunakan untuk memperkuat kedudukan sosial perguruan tinggi. Dengan demikian, perguruan tinggi tidak hanya menjadi lembaga pemerintah, melainkan sebagai pemandu arah perjalanan bangsa.
Prof Dr Fathur Rokhman MHum, Rektor Universitas Negeri Semarang