SAAT saya masih bocah, ibu menjanjikan hadiah jika puasa Ramadan bisa selesai sebulan penuh. Hadiahnya memang tidak besar, tetapi cukup untuk mendongkrak motivasi. Saya berubaha menguatkan diri untuk terus berpuasa, menjalankan ibadah lain sekuatnya, meski akhirnya ada yang bolong juga.
Jika sesuai kesepakatan, mestinya saya tidak berhak mendapat hadiah. Tapi ibu tetap memberikan hadiah yang dinjanjikan kepada saya. Tentu saja saya merasa bahagia. Usaha saya untuk berpuasa diapresiasi. Itulah yang membuat motivasi saya semakin tinggi. Tahun berikutnya saya bertekad berpuasa hingga sebulan penuh. Harus full!
Pengalaman itu masih saya ingat sampai sekarang. Sesekali saya merenungkan bahwa hadiah yang diberikan ibu kepada saya adalah sebuah sarana mendidik. Sebagai ibu ia ingin menyampaikan sebuah pesan tersembunyi, pesan yang kelak saya pahami sebagai nilai kasih sayang.
Saya yakin, hal yang saya alami juga terjadi pada orang lain. Mereka memiliki pengalaman unik dan berkesan selama Ramadan, pengalaman yang sederhana namun memiliki nilai yang sangat berkesan. Semakin bertambah dewasa, nilai itu semakin terasa bermakna.
Bagi saya pribadi, hadiah yang diberikan orang tua kepada anak merupakan sebentuk penghargaan. Tindakan itu dapat dipahami sebagai strategi komunikasi yang mengutamakan kelembutan. Melalui hadiah, ibu mengapresiasi pencapaian anak sehingga anak merasa apa yang dilakukannya berharga. Karena tindakannya berharga, anak akan berusaha menjaga dan mengulanginya.
Strategi komunikasi yang demikian memiliki keunggulan karena relevan dengan nilai dasar manusia: kasih sayang. Oleh karena itu, tradisi mengapresiasi prestasi patut ditiru, diadaptasi, dan dikembangkan dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam ungkapan lain, tradisi mengapresiasi prestasi patut dikonservasi.
Tradisi Mengapresiasi
Dalam konteks kehidupan saat ini, tradisi mengapresiasi orang lain terasa sangat penting. Sebab, kini ada gejala bahwa orang-orang cenderung lebih mudah menemukan keburukan daripada kebaikan. Tidak hanya itu, belakangan muncul kecenderungan bahwa seseorang lebih mudah mengecam. Keburukan diungkit, adapun kebaikan dilupakan. Akibatnya, pergaulan antarmanusia sekarang dipenuhi syak wasangka diliputi rasa curiga.
Pada bulan-bulan lain, orang demikian mudah memaki. Lihatlah forum-forum diskusi di media sosial, misalnya. Dengan modal informasi seadanya, orang satu dengan mudah menjustifikasi orang lainnya. Tanpa bukti yang memadai seseorang dengan mudah mengkritik dan menghardik.
Pada bulan Ramadan, kecenderungan demikian bisa dikurangi karena nilai-nilai dasar kemanusiaan menguat. Ramadan memiliki kekuatan kultural, yang membuat kekuatan spiritual, sosial, dan psikologis manusia semakin tajam. Dalam terminologi agama kondisi ini kerap disebut sebagai “berkah”. Dalam istilah yang lebih populer, kondisi ini bisa kita sebut dengan keistimewaan. Kondisi ini jauh-jauh hari ini telah disabdakan Rasulullah bahwa saat Ramadan “Pintu-pintu surga dibuka dikarenakan banyaknya amal saleh dari orang-orang mukmin.”
Keistimewaan Ramadan menjangkau berbagai dimensi kehidupan sehingga banyak hal istimewa yang terjadi pada bulan ini. Silaturahmi yang putus nyambung kembali, komunikasi yang mampat bisa terjalin lagi, dan motivasi hidup yang rendah bangkit meninggi. Keistimewaan itu bahkan tidak hanya dirasakan oleh umat Islam, tetapi juga dirasakan umat agama lain. Tidak heran jika peneliti asal Swedia Andre Moller begitu terkesima dan terinspirasi menerbitkan catatan Ramadan di Jawa.
Keistimewaan-keistimewaan Ramadan patut dijadikan sebagai momentum mengonservasi berbagai nilai kehidupan yang unggul dan berguna bagi peradaban manusia. Sebagai contoh, mengonservasi nilai edukasi, mendidik sesama manusia. Ikhtiar ini bisa diwujudkan dalam berbagai bentuk, dari yang sederhana hingga bentuk yang filosofis dan sufistik.
Mari kita lihat, selama Ramadan berbagai bentuk pengajian diadakan. Usai tarawih dan Subuh kultum diadakan. Pesan berantai berisi nasihat saling bermunculan. Semangat membaca bertambah sehingga ilmu yang kita peroleh melimpah. Belajar dan mengajar menjadi aktivitas yang penuh gairah dan menyenangkan.
Nah, agar nilai-nilai edukasi yang demikian produktif ini tidak hilang bersama berlalunya Ramadan, kita perlu mengonservasi nilai edukasi. Mengonservasi berarti menjaga dan memanfaatkan dengan prinsip lestari. Bukan lestari dalam arti statis, melainkan lestari dalam arti dinamis: menjaga dan mengembangkannya. Dengan konservasi nilai edukasi seperti ini, semangat mengedukasi akan bertahan meskipun Ramadan telah kita tinggalkan.
Modal Sosial
Selain semangat edukasi, nilai Ramadan lain yang perlu dikonservasi adalah keguyuban. Nilai ini penting karena relevan dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial, sekaligus relevan dengan nilai kebangsaan dan agama. Keguyuban bahkan bisa menjadi modal sosial yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia.
Keguyuban selama Ramadan tampak, misalnya, dalam kegiatan berbuka puasa. Sebuah keluarga lebih sering berkumpul untuk buka bersama. Sahabat jauh menjadi dekat dan lebih sering bertegur sapa. Jarak sosial antara pimpinan dengan anak buah bahkan bisa hilang begitu saja. Kondisi demikian terjadi karena Ramadan memiliki kekuatan kultural untuk menyatukan dan mempersatukan.
Dalam bentuk yang lebih kolektif, keguyuban Ramadan tampak pada meningkatkan intensitas salat jamaah. Masjid, sekolah, dan pos ronda semarak dengan aneka kegiatan bersama. Kegiatan sosial lebih sering terlaksana. Hingga puncaknya, keguyuban akan terasa ketika Idul Fitri tiba. Orang meleburkan fisiknya untuk salat Ied bersama, sekaligus meleburkan hatinya dalam bentuk maaf-memaafkan.
Keguyuban semacam ini baik bagi masyarakat, baik pula bagi bangsa dan negara. Kolektivitas adalah modal sosial yang sangat istimewa bagi bangsa Indonesia. Oleh karena itu, semangat kolektif yang demikian kuat selama Ramadan hendaknya dijaga agar lestari. Kegubuan patut diuri-uri, patut dikonservasi.
Selain dua nilai itu, tentu banyak nilai kehidupan lain yang dapat dipelajari selama Ramadan. Setiap orang, setiap keluarga, setiap komunitas memiliki nilai yang unik dan spesifik. Tiap orang berhak memilih nilai mana yang menurutnya paling berharga untuk dijaga dan dilestarikan dalam hidupnya. Selamat berpuasa. Selama beribadah bulan Ramadan.
Fathur Rokhman, Rektor Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini telah dipublikasikan di Wawasan (13/6)