HARI Kependudukan sudah lewat beberapa waktu, tepatnya pada 11 Juli lalu. Namun memperbincangkan masalah kependudukan, tidak akan pernah habis. Peristiwa mudik, macet puluhan jam, kesenjangan pembangunan, dan seterusnya, antara lain disebabkan karena tidak seimbangnya jumlah penduduk dan daya dukung lingkungan. Pulau Jawa yang luasnya hanya delapan persen dari luas Indonesia, harus menanggung 60% jumlah penduduk negeri ini.
Nampaknya program Keluarga Berencana mengalami masa penurunan dibanding era Orde Baru. Saat ini, angka pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 1,49 % per tahun dengan angka TFR (Total Fertility Rate) 2,6 berdasarkan Sensus Penduduk 2010. Artinya, setiap tahun ada sekitar 3-4 juta bayi lahir di negeri ini.
Di tingkat provinsi, jumlah penduduk Jawa Tengah tercatat sekitar 32.382.657 jiwa pada tahun 2010, lebih rendah dari proyeksi penduduk tahun 2010 yaitu sebesar 33,09 juta, dengan sex rasio 98,8 (laki-laki 16.091.112 dan perempuan 16.291.545), sedangkan laju pertumbuhan penduduk 0,37 per tahun, terendah tingkat nasional.
Angka ketergantungan 50,31 lebih rendah dari nasional (51,33), dengan kepadatan 995 orang per/km2, jauh lebih tinggi dibanding nasional 124 orang per/km2. Hampir 14 persen penduduk Indonesia ada di Jawa Tengah.
Dari 32,3 juta penduduk Jawa Tengah, jika dirinci menurut kelompok umur, maka akan diperoleh angka; kelompok umur 0-14 tahun mencapai 26,73 %, kelompok umur 15-64 tahun 65,72 %, dan kelompok umur 65 tahun 7,55 %. Angka tersebut menunjukkan bahwa Jawa Tengah hampir menikmati bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif 15-64 tahun hampir dua kali lipat dari kelompok umur tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).
Hanya yang menjadi masalah, apakah kelompok usia produktif itu termasuk penduduk yang bermutu, karena data BPS (2010) menunjukkan ada 5.204.437 jiwa penduduk Jawa Tengah yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu, alias menjadi setengah penganggur. Besarnya jumlah penduduk kelompok umur 0-4 tahun dan 5-9 tahun mengisyaratkan bahwa Jawa Tengah menghadapi permasalahan untuk menyiapkan anggaran untuk program KB, kesehatan, dan pendidikan.
Hasil SP 2010 memang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan penduduk (LPP) Jawa Tengah hanya 0,37 % dan tercatat terendah di Indonesia. Namun jika melihat besarnya kelompok umur balita, maka tersirat bahwa LPPyang rendah tersebut bukan karena turunnya angka kelahiran, melainkan sebab lain, misalnya migrasi keluar. Pernyataan ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Remaja Perempuan
Jika benar besarnya kelompok umur balita ini akibat tingginya angka kelahiran, maka program Keluarga Berencana mesti ditingkatkan perannya. Jumlah balita yang besar di Jawa Tengah ini berdampak terhadap biaya kesehatan, penyiapan pendidikan, dan lain-lain.
Perlu dicatat bahwa dalam era desentralisasi ini, peran pemerintah kabupaten atau kota sangat penting. Namun fakta yang ada menunjukkan program KB menghadapi masalah serius, ditandai dengan kurangnya perhatian pemerintah kabupaten/kota. Kelemahan lain, progam Keluarga Berencana (KB) untuk menekan angka kelahiran selama ini dinilai hanya berfokus pada perempuan dewasa atau ibu-ibu.
Padahal, pengenalan KB pada remaja termasuk penting. Harry Kurniawan, dari Program Manager Access, Services and Knowledge (ASK) Rutgers WPF mengatakan, keterbatasan akses pendidikan seksualitas dan layanan kesehatan membuat remaja Indonesia rentan terhadap risiko reproduksi dan seksual. Data menunjukkan 36,2 persen dari kasus AIDS di Indonesia per Maret 2014 berasal dari kelompok usia 15-29 tahun.
Investasi kepada remaja perempuan adalah dengan memusatkan perhatian kepada penyediaan informasi kesehatan reproduksi serta layanan KB yang inklusif dan ramah remaja. Oleh sebab itu, membuka akses layanan yang komprehensif kepada remaja mulai dari informasi hingga layanan adalah hal yang mendesak.
Nikah dini di Jawa Tengah masih cukup tinggi, hal ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya pengangguran, terutama pada remaja perempuan. Kepala Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kabupaten Semarang, Romlah, misalnya, menyampaikan informasi bahwa ada sekitar 8.000 pernikahan sepanjang 2015 dan tercatat sudah ada sekitar 2.214 perkara perceraian.
Ada sekitar 216 pasangan melakukan pernikahan di bawah umur, angka tertinggi di Kecamatan Bandungan. Pringapus, Bergas, dan Bawen. Dilihat dari geografisnya, wilayah tersebut adalah wilayah industri dan hiburan malam sehingga dipetakan menjadi titik rawan untuk pernikahan dini.
Bereproduksi dalam usia yang terlalu muda menimbulkan risiko kesehatan bagi kaum hawa. Mengandung dan melahirkan dalam usia belasan sangatlah riskan. Organ-organ reproduksi belum pada kondisi siap. Dengan demikian, program KB yang inklusif akan bermanfaat untuk mencegah kehamilan tidak diinginkan yang berujung pada pernikahan anak, serta membantu perempuan yang sudah menikah mengatur jarak kelahiran.
Di sinilah pentingnya pemerintah (daerah) jangan eman-eman untuk berinvestasi bagi remaja perempuan, jika tidak ingin menanggung risiko yang lebih parah di masa mendatang. Sialnya, investasi semacam ini sering tidak dipikirkan pemerintah (daerah) karena hasilnya tidak nampak seketika jika dibanding investasi pembangunan fisik. (43)
— Prof Dr Ir Saratri Wilonoyudho MSi, guru besar Unnes, ketua Koalisi Kependudukan Provinsi Jawa Tengah
Tulisan ini pertama kali diterbitkan Suara Merdeka, Jumat (15/7)