Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) pengganti Anies Baswedan, Muhadjir Effendy, meneguhkan stigma “ganti menteri ganti kebijakan” dengan mengajukan gagasan full day school. Tradisi ”membuat gebrakan” ini agaknya dipacu oleh motivasi agar dikenal sebagai menteri yang punya karya.
Di era Jokowi-JK sekarang dengan jargon ”kerja, kerja, dan kerja,” seolah kalau tidak membuat gebrakan baru jadi khawatir tidak dianggap kerja dan bisa-bisa cepat dicobot dari jabatan menteri. Mestinya sebagai orang baru Pak Menteri bisa pelan-pelan membaca apa saja program yang sudah dilakukan oleh menteri sebelumnya, termasuk capaiannya. Kemudian melakukan telaah evaluatif secara ilmiah. Dan hal ini perlu waktu.
Berdasarkan telaah itulah Mendikbud baru dapat melanjutkan program-program yang tepat. Bisa juga menunda atau membatalkan dengan alasan yang juga ilmiah. Bukan asal usul ide baru biar dilihat punya gagasan, tapi justru terlihat asal beda dari menteri sebelumnya dan berbuah kontroversi.
Kita patut belajar dari Finlandia dalam mereformasi sistem pendidikannya. Sejak tahun 1970-an riset sudah menjadi bagian integral dari pengambilan keputusan kebijakan pendidikan. Reformasi kurikulum misalnya didasarkan pada hasil riset empiris di 300 sekolah dan melibatkan 1.000 guru (Sahlberg, 2014: 67).
Riset-riset tentang dasar-dasar teori dan metodologi pembelajaran juga didorong oleh pemerintah dengan melibatkan universitas-universitas di sana, hingga Finlandia menjadi satu dari beberapa negara awal yang mengimplementasikan pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dalam skala besar di sekolah dan kampus. Selain itu kebijakan pendidikan dari periode ke periode berikutnya selalu didasarkan atas pertimbangan matang terhadap hasil evaluasi capaian kebijakan sebelumnya.
Tantangan baru yang muncul dari perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi direspons melalui kajiankajian ilmiah dan riset serius. Tidak tergesa-gesa usul atau sosialisasi kebijakan dan program baru. Tradisi Finlandia inilah yang mestinya dapat ditiru oleh menteri-menteri pendidikan di Indonesia.
Rasanya pendidikan Indonesia tidak akan pernah berjalan maju jika tiap ganti menteri selalu saja memulai dari nol dengan sesuatu yang ”baru” dan dipaksakan. Sebenarnya Kemdikbud sudah punya Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang). Termasuk di dalamnya terdapat Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud).
Arahnya lembaga inilah yang berperan besar dalam mengkaji berbagai kebijakan pendidikan pemerintah dan kemudian memberikan beberapa rekomendasi kepada Mendikbud. Selama ini karena personelnya terbatas Balitbang banyak melibatkan pihak luar untuk membantu penelitian.
Riset juga sudah banyak dilakukan. Hanya saja yang jadi pertanyaan publik adalah apakah hasil riset-riset tersebut betul-betul dijadikan pertimbangan Kemdikbud dalam pengembangan kebijakan pendidikan? Pihak kampus dapat mengarahkan riset-risetnya yang berimplikasi pada kebijakan pendidikan agar dikembangkan menjadi policy paper.
Jadi luaran risetnya tidak hanya berupa artikel ilmiah yang terpublikasi dalam jurnal ilmiah, yang seringkali sekadar berputar jadi obrolan di kalangan elite akademisi saja. Kalau luarannya juga diarahkan dalam bentuk policy paper, maka langsung dapat dikirim ke pihak Kemdikbud agar dapat ditindaklanjuti. Di sini Kemdikbud juga harus membuat kanalkanal yang jelas untuk para periset di kampus ketika akan mengirim policy paper kepada Kemdikbud.
Itulah beberapa saran agar kebijakan pendidikan di Indonesia didasarkan pada riset ilmiah yang serius. Tentu tidak elok pemerintah meminta para guru meningkatkan kualitas pembelajarannya melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK) namun pemerintah sendiri justru tidak mendasarkan upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional pada riset. Dengan berdasar riset maka pengambilan kebijakan tidak akan tergesa-gesa hingga membuat gaduh dan keruh dunia pendidikan.
Secara tidak langsung juga akan mengajak para pemangku kebijakan untuk berpikir dan memegang prinsip ilmiah, yakni standing on the shoulders of giant dengan mengutamakan rasionalitas, kejujuran, dan menghargai usaha-usaha dari menteri-menteri sebelumnya, juga kajian dan rekomendasi para ilmuwan dan pakar pendidikan. (47)
–– Edi Subkhan, dosen Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Semarang
Tulisan ini telah dupublikasikan Suara Merdeka, Kamis (8/9)
Uraian yang sangat bagus Pak Edi. Mungkin saja untuk jabatan menteri tertentu perlu perlindungan politik yang lebih. Karena untuk menunggu evaluasi kebijakan yang bapak sampaikan, Menteri bisa menunggu sampai 2 tahun. Padahal Pak Presiden sepertinya tidak terlalu sabar untuk menunggu hasil yang terlalu lama. Nah, karena tidak ada dispensasi politik, maka Menteri yang bersangkutan bisa dianggap tidak kerja dan akhirnya berpotensi dicopot. Dilema yang harus kita hadapi bersama.