Beberapa hari ini kita disodori sajian berita yang sangat miris tentang pemerkosaan dan kekerasan seksual. Sebut saja perkosaan EF di Tangerang, ST di Palembang, YYN di Bengkulu, KH dan AM di Pemalang merupakan sederet peristiwa perkosaan yang akhir-akhir ini baru terungkap. Bahkan di Kediri terungkap seorang pengusaha yang memperkosa puluhan gadis di bawah umur.
Boleh jadi, realita perkosaan sesungguhnya masih banyak dan tidak terungkap ke permukaan. Dark number dalam perkosaan tetap banyak yang menjadi misteri.
Perkosaan merupakan perilaku biadab, pelakunya pantas untuk dijatuhi pidana yang setimpal. Jika dilihat dari kacamata viktimologis, tindak pidana perkosaan tentu berbeda dengan tindak pidana lain. Perkosaan meninggalkan trauma yang mendalam, bahkan petaka seumur hidup bagi korban. Bukan saja terenggutnya keperawanan seseorang, lebih dari itu adalah terenggutnya masa depan yang bersangkutan.
Bahkan pada masyarakat tertentu, korban perkosaan justru dikucilkan oleh lingkungan sekitar. Sungguh derita yang tak tertahankan. Banyak para korban perkosaan akhirnya menempuh jalur bunuh diri, lantaran hidupnya serasa bagaikan bangkai yang hidup.
Dengan mengingat derita korban yang demikian, maka perlu dirumuskan kembali pidana yang sepadan dengan penderitaan korban, untuk dijatuhkan kepada pelaku. Secara normatif, ancaman pidana bagi pelaku perkosaan sudah sangat tinggi. KUHP telah merumuskan pidana bagi pemerkosa maksimal 12 tahun penjara.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, pidana yang diancamkan terhada perkosaan terhadap anak juga tergolong tinggi yaitu 15 tahun. Sedangkan perkosaan dalam hubungan rumah tangga, Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan ancaman yang cukup fantastis bagi pelaku kekerasan seksual (termasuk perkosaan) dengan pidana sampai 15 tahun pidana penjara, bahkan sampai pidana penjara 20 tahun.
Dilihat dari berat ringannya pidana (strafmaat), pidana yang diancamkan bagi para pemerkosa sebenarnya tergolong amat berat. Namun menilik dari tetap merajalelanya perkosaan di negeri ini patut dipertanyakan kefektifan jenis pidana (strafsoort) tersebut .
Kebiri Menjadi Alternatif
Akhir-akhir ini mulai diwacanakan jenis pidana baru bagi pelaku perkosaan, yaitu kebiri. Kebiri merupakan tindakan penghilangan fungsi testis atau fungsi ovarium. Dengan kebiri, yang bersangkutan menjadi kehilangan nafsu seksual/libidonya. Kebiri diyakini menjadi pidana yang efektif sekaligus setimpal bagi pelaku perkosaan. Dirasa efektif lantaran negara tidak perlu bersusah payah menyediakan ubo rampe beban ekonomis dibanding jika yang bersangkutan dijatuhi pidana penjara.
Dalam penerapan pidana penjara, negara tentu berkewajiban memberikan “akomodasi” selama yang bersangkutan dipidana. Beban ini jelas tidak ada dalam pidana kebiri. Selain itu, dengan kebiri, bisa dipastikan yang bersangkutan tidak akan mengulangi lagi perkosaan. Jadi dengan kebiri, tidak dimungkinkan adanya recidive perkosaan. Dirasa setimpal karena prinsip timbal balik yang menyatakan “mata dibayar mata, anggota badan dibayar dengan anggota badan, nyawa dibayar dengan nyawa” tercapai.
Seorang yang telah merusak “anggota” biologis seseorang dibalas dengan “anggota” biologis yang serupa. Penderitaan seumur hidup yang diderita oleh korban -meski tidak sama persis- juga dirasakan oleh si pelaku. Jadi jenis pidana kebiri ini bisa menjadi solusi mujarab atas perkosaan yang akhir-akhir ini semakin binal. Satu hal barangkali yang menjadi pertimbangan adalah terkait Hak Asasi Manusia (pelaku).
Bagi penulis, meskipun pertimbangan humanisme dan Hak Asasi Manusia tetap patut dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana, namun HAM pemerkosa sudah dengan sendirinya dilepaskan saat yang bersangkutan memperkosa korban. Jadi dengan demikian, si pelaku tidak berhak lagi menuntut HAM nya.
Secara teoritik, penjatuhan kebiri untuk diintroduksi dalam penjatuhan pidana dapat dibenarkan. Sebagaimana ditawarkan oleh Fletcher bahwa saat sekarang aliran new retributivism dapat menjadi alternatif penjatuhan pidana. Selama ini, retributivism murni dikritik banyak orang lantaran tidak sesuai dengan prinsip Hak Asasi Manusia. Pidana hanya ditujukan untuk pembalasan tanpa harus mempertimbangkan tujuan. Tujuan satu-satunya dari pidana adalah pembalasan dan jera.
Atas kritik ini, pandangan pidana kemudian beralih kepada utilitarianism. Penjatuhan pidana harus memperhatikan humanisme dan mengedepankan Hak Asasi Manusia. Namun dalam perkosaan, aliran yang cocok diterapkan adalah bukan utilitarianism, tetapi new retributive ini, yakni modifikasi dari teori retributive murni. Dengan pandangan yang terakhir ini maka kebiri dengan model pemberian/penyuntikan hormon antiandrogen menjadi tindakan yang tepat, bukan kebiri dengan cara pembedahan dan pemotongan testis.
Dengan demikian, pidana kebiri memiliki landasan teoritik/filosofik dan landasan sosiologis demi kepentingan masyarakat umum. Satu landasan operasional lagi yang diperlukan yaitu perlunya payung yuridis, agar kebiri dapat dijatuhkan terhadap pelaku perkosaan.
Idealnya, landasan yuridis tersebut diintegrasikan dalam KUHP atau undang-undang terkait dengan kekerasan seksual. Namun mengingat ancaman perkosaan yang sudah di luar batas nalar kemanusiaan, bahkan lebih rendah dari insting khayawaniyah, pemerintah perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Langkah ini harus segera ditempuh, jika tidak ingin para perempuan terenggut kehormatannya secara sia-sia.
— Dr Ali Masyar Mursyid, SH MH, dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang